Cari di Blog ini

TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA

Konsep Filosofis orang Rote Tentang Perahu Dan Sumbangannya Bagi Pluralisme Agama (Lete-Lete)



1.      MENGENAL KONTEKS
Rote adalah pulau paling Selatan dalam jajaran kepulauan Nusantara Indonesia.  Penyebutan nama Rote sendiri bervariasi. Ada yang menyebutnya dengan sebutan Rote, Roti/Rottij (dalam bahasa Belanda), dan juga Lote. Penyebutan yang bervariasi ini disebabkan karena ada Sembilan dialek yang terdapat di pulau Rote. Namun, sesungguhnya nama asli pulau Rote itu sendiri adalah lolo neo do tenu hatu (gelap), nes do male (layu), dan lino do nes (pulau yang tersembunyi dan tidak berpenghuni). Penyebutan ini agaknya dipengaruhi oleh kondisi alam pulau Rote yang berbukit-bukit.
Kehidupan sosial, budaya dan politik masyarakat Rote ditandai dengan hidup berkelompok menurut strata sosial.  Terdapat empat strata, yaitu strata Henutei (raja dan keturunannya), leolulu (fetor/wakil raja), strata lailangga (tuan tanah/orang yang memiliki banyak tanah), dan leolai (rakyat biasa).
Dari kelompok-kelompok strata di atas didalamnya terdapat pula pembagian suku-suku. Setiap kelompok suku dipimpin oleh maneleo (kepala suku). Pengangkatan maneleo didasarkan pada pemahaman bahwa seorang pemimpin suku adalah orang yang harus bisa merangkul semua anggota suku, pandai berbicara dan juga memiliki kualitas hidup yang baik sehingga hidupnya menjadi panutan bagi anggota suku. Dalam sistem pemerintahan, pengelompokan strata- strata masyarakat beserta maneleo dari masing-masing suku serta seluruh anggota sukunya dipimpin oleh manek (raja ).
Orang Rote menganut sistem keturunan  patrilineal (mengikuti garis keturunan ayah). Sistem ini berpengaruh pada kehidupan orang Rote itu sendiri. Laki-laki menjadi pusat perhatian dalam hidup berkeluarga dan juga bermasyarakat. Misalnya, yang menjadi kepala/penggerak dari kehidupan keluarga adalah laki-laki/suami/ayah. Pucuk pimpinan di dalam masyarakat juga adalah laki-laki. Akan tetapi, semua peran laki-laki itu tidak berfungsi dengan baik tanpa sokongan dari perempuan/istri. Dalam hal inilah baik perempuan maupun laki-laki sama-sama memiliki peranan yang penting dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.
2.      LETE-LETE: PERAHU
Ciri suatu masyarakat ditentukan oleh budaya atau adat-istiadat di mana suatu komunitas masyarakat berada. Dengan kata lain, pengenalan terhadap latar belakang suatu masyarakat bertolak dari kebudayaan seperti apa yang dipegang atau dianut. Bertolak dari hal ini, maka masyarakat suku Rote dalam hidupnya pun mengenal apa yang disebut dengan kebudayaan. Kebudayaan itu lahir dari ketetapan bersama orang Rote, tetapi juga kebudayaan lahir dari pengalaman hidup mereka, salah satunya lete-lete.
Sumber gambar: https://www.google.com/search?q=perahu+bercadik+di+rote
Lete-lete adalah salah satu jenis perahu milik orang Rote yang merupakan hasil dari pengalaman hidup orang Rote. Pada umumnya. Perahu ini , dikenal dengan sebutan perahu bercadik.
o   Asal-usul Perahu Lete-lete
Perahu Lete-lete di Rote berasal dari pulau Nusak yakni Ti’i. Konsep tentang pembuatan perahu Lete-lete bermula pada tahun 1792 yakni saat raja Ti’I (Foe Mbura) berniat mengajak beberapa raja lain di Rote (Raja Lole yakni Ndihua, Dengka yakni Denggalio dan Raja Ba’a yakni Ndaranao) untuk berlayar menuju ke Jawa dengan tujuan mengadakan perundingan di Batavia. Pada waktu itu sarana pelayaran sangat susah, karena itu keempat raja tersebut mulai berpikir untuk merancang sebuah alat yang dipakai untuk berlayar ke Batavia yakni perahu sederhana yang terbuat dari kayu serta rakitan-rakitan bambu berukuran kecil. Perahu itulah yang kini disebut Lete-lete yang pada masa lalu disebut sebagai Sangga Ndolu. Melalui peristiwa tersebut, maka perahu Lete-lete dikenal di kalangan masyarakat suku Rote. Misalnya Landu,  Ndao, Ndana, Naso, Usu, Manuk, Doo dan Helina.
o   Istilah Lete-lete
Pada awalnya perahu Lete-lete hanya dikenal di Ti’i dengan sebutan Sangga Ndolu. Namun setelah digunakan oleh orang Rote secara umum, maka sebutan Sangga Ndolu  mengalami generalisasi dan disebut sebagai Lete-lete. Menurut tradisi lisan, kata Lete-lete diambil dari kata Napalelete artinya “berjalan di atas suatu benda tetapi dengan hati-hati”. Selain itu kata ini juga mengandung pengertian pada suatu alat yang digunakan untuk menghubungkan dua tempat.
o   Proses Pembuatan Lete-lete
Pembuatan perahu Lete-lete terdiri atas tiga tahapan, yakni:
1.      Tahapan pertama (Persiapan)
Pada tahapan ini bahan-bahan serta peralatan disiapkan, namun orang Rote terlebih dahulu melakukan beberapa tradisi doa bersama yang melibatkan kerabat, keluarga dan masyarakat yang ada di kampung tersebut. Hal ini dimaksudkan agar perahu itu kelak mendatangkan berkat dan bukan kecelakaan.
2.      Tahapan kedua (pembuatan)
Segala sesuatu yang telah dipersiapkan akan diproses menjadi sebuah sarana (Lete-lete). Hal pertama yang dilakukan yakni membuat bagian bawah perahu Lete-lete. Beberapa balok panjang/Lunas (kayu yang keras dan tak mudah rapuh ketika terkena air) diletakkan di bagian dasar perahu. Kemudian balok yang lain dipasang untuk menghubungkan antara bagian depan dan bagian bawah perahu, setelah itu disambung lagi balok dari bagian belakang ke bagian atas.
Langkah selanjutnya adalah menyusun papan pada bagian badan perahu. Kemudian dilanjutkan dengan menempel papan pada bagian atas perahu atau yang disebut dek (tempat para penumpang berada). Setelah itu dilakukan pemasangan kemudi pada bagian belakang perahu, kemudi berfungsi sebagai pengatur arah perahu.
Proses selanjutnya adalah memasang tiang layar yang panjangnya sesuai ukuran perahu. Pada bagian layar dipasang dua buah bambu panjang yang diberi tali. Bambu panjang tersebut diletakkan di bagian atas dan bawah layar. Setelah sampai pada tahapan ini, maka proses pembuatan perahu Lete-lete telah selesai.
3.      Tahapan ketiga (penyelesaian)
Setelah proses pembuatan selesai maka diadakan doa bersama dengan mengundang sanak saudara, keluarga dan orang-orang disekitarnya sebagai wujud ucapan syukur kepada Pencipta. Setelah itu semua undangan yang hadir diperbolehkan untuk mengikuti uji coba terhadap perahu yang dibuat itu. Setiap orang saling bergantian dibawa berlayar dengan perahu Lete-lete sebagai simbol dari perjalanan perahu Lete-lete selanjutnya.
o   Peranan Lete-lete
1.      Perahu Lete-lete sebagai gembaran persekutuan (Dalek esa)
Hal penting dari perahu Lete-lete ialah kehadirannya yang lahir dari dialog serta keputusan untuk bersekutu antara raja-raja di Rote. Persekutuan itu kemudian mengantar kehadiran Lete-lete sebagai sarana transportasi dalam bidang pelayaran. Lete-lete hadir tidak hanya untuk menjawab kebutuhan masyarakat Rote pada waktu itu saja, tapi juga bagi kenyataan hidup bersama di masa kini dalam satu tujuan yakni mencari kedamaian bersama (sangga ndolu).
    Secara fisik waktu yang ditempuh oleh perahu Lete-lete relatif lama. Hal ini menciptakan terjalinnya persekutuan yang semakin erat selama masa pelayaran. Persekutuan tersebut bukanlah kerumunan orang yang terjadi sesaat, melainkan suatu persekutuan yang di dalamnya saling mengenal dan menerima. Berhubungan dengan hal ini maka disadari pula bahwa Keberadaan Lete-lete yang sederhana diperhadapkan dengan situasi alam yang tidak menentu, dapat menjadi kendala yang perlu diperjuangkan. Keterbatasan yang dimiliki, turut mengantar persekutuan komunitas Lete-lete pada kebersamaan saling melayani dan melengkapi. Semakin besar tantangan yang dihadapi maka semakin besar usaha yang dilakukan bersama untuk menyelesaikannya.
2.      Lete-lete sebagai gambaran kedamaian (Sangga Ndolu)
Persekutuan yang solider menggambarkan kedamaian bersama. Hal ini mengantar orang Rote pada persekutuan yang lebih erat. Setiap suku di Rote tidak akan berpikir  tentang keselamatan sendiri, melainkan keselamatan bersama. Hal ini berarti aspek sosial dari kehidupan manusia dipertahankan melalui Lete-lete. Melalui Lete-lete, orang Rote sadar akan kenyataan hidup yang dialami bersama dan kedamaian yang perlu diperjuangkan.  
3.      KEMAJEMUKAN BERAGAMA: REALITAS MASA KINI
Telah menjadi kenyataan historis bahwa Indonesia adalah bangsa yang prural. Dari sisi agama, prulallitas Indonesia tercermin dari adaanya sejumlah agama-agama dunia: Hindu, Budha, Khonghucu, Islam, Protestan, Katolik,dan berbagai agama dan kepercayaan lainnya. Sungguh terdapat banyak kepercayaan yang berasal dari agama-agama itu sendiri. Kemajemukan ini jelas merupakan anugerah Tuhan,dan karenanya patut disyukuri. Mengingkari kemajemukan berarati mengingkari kehendak dari karya Tuhan.
Pemahaman yang positif akan kemajemukan berfungsi untuk memperkaya khasanah budaya bangsa dan berperan sebagai sarana untuk saling mengenal satu dengan lainnya dan terus saling tolong menolong dengan penuh komitmen, karena sekalipun secara faktual manusia itu plural, namun manusia diikat oleh kebutuhan universal seperti halnya, kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan bersama. Karena itu, sudah saatnya bagi setiap individu untuk beranjak dari keegoisan atau sikap merasa diri paling benar terhadap komunitas lain melalui dialog yang jujur dan saling menghargai.
Menurut Charles Kimball, salah satu ciri “kejahatan keagamaan” adalah agama yang mengklaim dirinya sebagai satu-satunya yang berhak memiliki kebenaran mutlak. Inilah tantangan terbesar dalam kehidupan beragama saat ini ialah bagaimana seorang penganut agama bisa mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain. Kemajemukan merupakan realitas yang tidak bisa ditampik keberadaannya. Adalah kenyataan rill bahwa saat ini kita tidak sekadar melihat komunitas yang berbeda dari balik kaca televisi, tapi saat ini kita hidup dan tinggal bersama dalam satu ranah, bahkan lebih spesifik lagi mungkin kita sudah  makan dan mungkin minum kopi bersama mereka yang berdeda dengan kita, apakah itu beda agama atau etnis. Mereka mungkin tinggal di alamat jalan yang sama dengan kita, bekerja satu kantor, atau bisa jadi mungkin anak kita menikahi atau dinikahi oleh mereka yang berbeda. Karena itu kemajemukan dalam beragama adalah bagian dari proses kehidupan manusia yang harus bahkan telah dijalani dan diakui.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka konsep Lete-lete memberikan sumbangan berarti akan kehidupan bersama yakni persekutuan (dalekh esa) serta kedamaian (sangga ndolu) yang merupakan tujuan utama manusia masa kini. Hal ini seturut dengan apa yang disampaikan oleh Hans Kung yakni tidak ada kedamaian di antara bangsa tanpa kedamaian antar-agama. Jika demikian, maka masyarakat masa kini perlu untuk mengerti bahwa betapa besar arti hidup bersama demi kedamain dunia. Kehidupan bersama itu melitputi cinta kasih untuk saling memberi serta terbuka antar sesama tanpa pamrih.
Konsep tentang persekutuan dan kedamaian bersama sebenarnya juga merupakan inti dari ajaran agama-agama dunia khususnya di Indonesia. Dalam agama Kristen dikenal dengan konsep “kasih”, yang secara jelas tertera dalam Matius  22:39; kasih dalam pengertian ini yakni kerelaan untuk menerima bahkan sedia untuk turut berpartisipasi dalam kehidupan bersama, sebagaimana kecinatan pada diri sendiri (self) maka manusia pun terpanggil untuk hadir bagi yang lain (other). Itulah berkat dan panggilan manusia dalam dunia milik Allah, yakni menjadi pembawa damai bagi sesama (Matius 5:9).
Dalam Islam, dikenal dengan konsep rukunun artinya rukun. Rukunun meliputi perbuatan yang baik dan damai, bersatu hati, bersepakat demi kehidupan bersama. Dalam hal ini, manusia dituntun untuk saling tolong menolong dan menjauhkan diri dari pertengkaran. Selain itu, Ajaran Islam berisikan banyak perintah supaya menyelesaikan pertikaian di antara masyarakat dan bangsa dengan maksud membangun kedamaian. Bahkan pada dasarnya semua ajaran Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw itu bertujuan untuk mewujudkan perdamaian (QS. Al-Anbiya (21): 107). Menurut Dr. Samir Aliyah, konsep perdamaian dalam Islam adalah seseorang muslim tidak boleh mengharapkan terjadinya perang atau mengajak perang, bahkan kepada musuh.
Umat Hindu menurut pengertian Veda pada hakikatnya merupakan bagian dari manusia lainnya, tak terpisahkan dari seluruh ciptaan Tuhan ( Sang Hyang Widi Wasa ), penguasa dan penakdir segala ciptaan-Nya di alam semesta ini. Manusia Hindu tidak dapat memisahkan dirinya untuk sebuah perbedaan, karena ia berasal dari yang satu, serta pada akhirnya akan kembali kepada yang satu jua. Demikianlah di dalam pustaka suci Veda dinyatakan sebuah kalimat: ” TAT TVAM ASI ” yang bermakna: ”Itu adalah Engkau, Dia adalah Kamu, Aku adalah Dia, Engkau adalah Aku, dan seterusnya… ”bahwa setiap manusia adalah saudara dari manusia lainnya dan teman dari insan ciptaan-Nya. Sesanti “Tat Tvam Asi” ini menjadi landasan etik dan moral bagi umat Hindu di dalam menjalani hidup sehingga umat hindu dapat melaksanakan kewajibannya di dunia ini dengan harmonis. Hal ini seturut dengan pendapat dari Swami Vivekananda, bahwa umat Hindu mengakui akan kebenaran semua agama, dengan kata lain kebenaran pun hadir dalam setiap agama.
Agama Budha pun demikian, Menurut Sang Buddha berkembangnya perpecahan dan hancurnya persatuan dan kesatuan (kerukunan) mengakibatkan pertentangan, pertengkaran. Sang Buddha bersabda dalam Dhammapada ayat 6, sebagai berikut: “Mereka tidak tahu bahwa dalam pertikaian mereka akan hancur dan musnah, tetapi mereka yang melihat dan menyadari hal ini damai dan tenang”. Sumber dari perpecahan menurut Sang Buddha dijelaskan dalam Dhammapada ayat 5, yaitu: “Di dunia ini kebencian belum pernah berakhir jika dibalas dengan membenci, tetapi kebencian akan berakhir kalau  dibalas dengan cinta kasih. Ini adalah hukum kekal abadi”.
Dari kutipan di atas, dengan jelas diungkapkan bagaimana akibat dari pikiran yang jahat bagi seseorang, bagi suatu golongan tertentu, bagi suatu bangsa bahkan bagi umat manusia. Maka diperlukan kedewasaan berpikir. Berkata dan bertindak (sila). Dasarnya adalah ajaran Buddha dalam Anguttara Nikaya II, yaitu: Hiri (perasaan malu untuk berbuat tidak baik dan Ottapa (rasa takut akan akibat perbuatan jahat). Dua dasar tersebut adalah Lokapala Dhamma atau Dhamma pelindung dunia.
Seluruh konsep agama-agama tersebut memberikan kesimpulan bahwa pada dasarnya setiap agama memiliki pedoman untuk hidup bersama dalam damai sekalipun terdapat perbedaan. Kemajemukan adalah anugerah Pencipta dengan tujuan agar manusia saling melengkapi satu dengan yang lain. Karena itu, Lete-lete sebagai salah satu buah hasil dari kearifan lokal orang Rote yang turut menyumbang bagi usaha manusia dalam menciptakan kedamaian. Karena itu, manusia adalah satu persukutuan (dalekh esa) yang saling bergandengan tangan demi kedamaian bersama (sangga ndolu).
4.      LETE-LETE DALAM BINGKAI ETIKA GLOBAL
Kenyataan masa kini terdapat kesadaran penting yang muncul pada masyarakat dunia dan agama-agama, bahwa dunia yang sedemikian majemuk mestinya bersama-sama duduk memikirkan sebuah tatanan dunia baru yang dapat memberi aspirasi terhadap kemanusiaan sejagat atas martabat manusia, harus menjadi agenda penting untuk disuarakan. Pandangan seperti ini bukan tidak beralasan, menggingat sepanjang sejarah peradaban dunia, umat mausia selalu diperhadapkan dengan peristiwa peperangan dan konflik kekerasan yang dilatar belakagi oleh bermacam motif kepentigan, mulai kepentigan politik, eknomi, rasialisme, etnis maupun agama. Perang dan konflik kekerasan ini telah mengorbankan manusia dan telah menghancukan martabat kemanusiaan dan itu telah terjadi berabad-abad lamanya.
Salah satu fariabel penting yang sering ditengarai menyebabkan konflik dan kekerasan adalah agama. Meski agama dalam ajaran normatifnya sarat akan pesan-pesan moral dan cinta kasih,akan tetapi secara empris, etika berintegrasi degan manusia, agama telah dimasuki “virus” ideology, karenanya agama juga dipandang turut bertanggung jawab atas berbaga konflik yang terjadi di bebagai belahan dunia.
Harapan masa kini akan pluralisme memberikan sebuah prespektif baru di dalam perjumpaan umat manusia yang majemuk yakni perjumpaan yang bebas dari intrik, kekerasan dan provokasi. Demikian berarti agama-agama juga dituntut untuk mereposisis perannya secara dinamis dan terbuka. Dalam khotbah saat ditabiskan majadi uskup Agung Canterbury pada tahun 1942, Wiliam Tample berbicara tenang keputusan gereja-gereja untuk bersatu sebagai “suatu kenyataan baru” saat ini. Ia seorang pengamat besar. Seandainya Ia masih hidup, saya yakin Ia akan berbicara tentang berbagai kekuatan yang akan mempersatukan agama-agama sebagai “kenyataan baru” yang tidak bisa kita abaikan.
Berhubungan dengan kenyataan demikian maka Lete-lete sebagai kearifan lokal orang Rote setidaknya menyumbang beberapa nilai penting dalam etika global di masa kini, yakni:
1.      Kekerabatan
Perjumpaan antar umat beragama merupakan sarana penting untuk menumbuhkan pengenalan yang lebih mendalam kepada orang lain dan kemudian melahirkan kepedulian kepada sesama manusia. Mengapa diperlukan kepedulian itu? Jawabannya jelas, yakni: ada berbagai persoalan kemanusiaan yang membutuhkan kerja-sama. Kerja sama dapat terjadi melalui adanya upaya untuk saling mengenal dan saling memahami. Kegagalan dari perjumpaan-perjumpaan yang telah dilakukan berulang-ulang selama ini, karena perjumpaan itu diadakan lebih kepada upaya mendukung politik pemerintah, yakni menciptakan ketentraman versi pemerintah. Kekerabatan yang terjalin dalam suatu perjumpaan, bukanlah demi kepentingan kelompok tertentu, melainkan demi kesejahteraan hidup bersama. Semuanya saling bekerja sama demi kedamaian bersama. Dalam kekerabatan ada kepedulian yang melahirkan kerja sama untuk saling menolong dan berbagi dalam menghadapi segala persoalan kemanusiaan.
2.      Damai
Sebuah persekutuan memiliki satu tujuan, yakni mencari kedamaian bersama yang merupakan tujuan utama manusia masa kini. Setiap orang akan berusaha untuk dapat mencapai kedamaian dalam kehidupannya, baik itu secara pribadi maupun kelompok. Hal yang penting dari kehidupan bersama ialah demi kedamaian yang dipenuhi cinta kasih. Kedamaian dapat menciptakan persekutuan yang saling memberi dan terbuka antara sesama manusia. Dalam hubungan antar-agama, konsep kedamaian merupakan hal yang utama dalam sebuah persekutuan. Partisipasi dalam kehidupan bersama antara umat beragama, bukanlah demi kepentingan sendiri, melainkan bersama-sama terpanggil untuk hadir bagi yang lain. Hal ini memungkinkan adanya hubungan dialog antar-agama yang saling terbuka, menghargai dan menghormati eksistensinya masing-masing, tanpa ada rasa saling menyakiti dan mencurigai. Dengan demikian, kedamaian itu bukan menjadi milik sendiri, melainkan milik bersama. 






DAFTAR PUSTAKA
Andre Soh,
Mutiara dari Selatan, Jakarta: Yayasan Kelopak, 2008.
Alo Liliweri,
Inang, Hidup dan Bhaktiku, Kupang: Tim Penggerak PKK Provinsi NTT, 1989.
Billy Graham,
Peace With God, World Wide: USA, 1984.

Buku pedoman guru mengajar Pedoman Khusus bidang studi Weda: (sebagai Suplemen

Kurikulum PGA Hindu 1979).

Charles Kimball,
When Relegion Becomes Evil, Harper Collins Publised: Newyork, 2003.
Hans Kung,
Tracing The Way-Spiritual dimention of world religion, Continuu: London, 2002.
Javad Nurbakhsh,
SUFI LOVE dalam ENCYCLOPEDIA OF LOVE IN WORLD RELIGIONS
Volume 1 (A-I), ABC-Clio: Santa Barbara, California, 2008.
John Clifford Hold,
The Religious World of Kirti Sri : Buddhism, Art, and Politics of Late Medieval Sri
Langka, Oxford University Press: New York, 1996.
KH.M.Sholikhin,
 Filsafat dan Metafisika dalam Islam, Narasi: Yogyakarta, 2008.
Samir Aliyah,
Sistem Pemerintahan, Peradilan & Adat dalam Islam. (2004) Jakarta: Khalifa.
S. Wesley Ariarajah, 
Tak Mungkin Tanpa Sesamaku, Isu-isu dalam relasi antar iman, BPK-Gunung
Mulia: Jakarta, 2008.
Seyyed Hossein Nasr,
Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan. (2003). Bandung: Mizan.
Tim Penggerak PKK Prov. NTT.
Inang Hidup dan Bhaktiku: Nusa Tenggara Timur, 1989.
Weinata Sairin,
Kerukunan umat beragama-Pilar utama kerukunan berbangsa; butir-butir 
pemikiran: BPK Gununng Mulia, Jakarta, 2006.
Wawancara:
Filus Nalle, Wawancara, Kakabai, 20 Oktober 2014.
Febiyanti Bala, Wawancara: Liliba, 28 Oktober 2014.
Mesri Feoh, Wawancara, Kakabai, 20 Oktober  2014.
Simon Nggadas, wawancara, Sikumana, 15 Oktober 2014.
Zeth Lodo, Wawancara (via telephon seluler): Rote,  22 November 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar